30 Desember 2009

gus dur = WALI?

Inayah Wahid: "Waktu ke Jombang, Gus Dur serasa diminta datang oleh mbah KH Hasyim Asyhari. Waktu di Jombang, sempat bilang ke sepupunya agar dijemput pada 31 Desember ini."

Adakah beliau sudah mengetahui tanda-tanda panggilanNya? Kalau iya, artinya beliau memang memiliki maqom spiritual yang luar biasa dan pantas sebagian besar warga Nahdliyin menganggapnya wali. Paling tidak wali (pelindung) bagi kaum kecil.

Semoga Allah SWT melapangkan kuburnya dan menyediakan tempat terindah di alam sana. Kami akan selalu merindukanmu, Gus...[]

17 Desember 2009

bedah "gado-gado sang jurnalis" DI USAHID JAKARTA

Universitas Sahid Jakarta, Rabu (16/12), menjadi gong pembuka roadshow buku GADO-GADO sang jurnalis: rundown WARTAWAN ECEK-ECEK ke berbagai kampus di Jakarta dan kota-kota lainnya di Tanah Air. Dalam acara itu, sang penulis, syaiful HALIM, didaulat untuk memaparkan topik "Menelisik Prospek Jurnalis Televisi di Tanah Air" dihadapan sekitar 200 mahasiswa.

"Pada era 1996, masyarakat dikejutkan dengan kehadiran Seputar Indonesia di stasiun RCTI dan Liputan 6 Petang di SCTV sebagai program berita dengan kemasan yang berbeda dibandingkan program-program berita yang ditayangkan stasiun TVRI," jelas syaiful HALIM. "Dan berkat kerja keras para jurnalis televisinya, kita bisa menyaksikan berbagai suasana mencekam, seperti penyerbuan kantor PDI di Jalan Pangeran Diponegoro, tragedi penjarahan pada Mei 1998, peristiwa Semanggi, dengan apa adanya dan memuaskan keinginantahuan pemirsa."

Selanjutnya, sang Wartawan Ecek-Ecek makin bersemangat merinci peran jurnalisme televisi dan kiprah para jurnalis televisinya. Sesekali ia menghubungkan penjelasan menyangkut situasi pengelolaan stasiun televisi dan kejayaan para jurnalisnya itu dengan isi buku -- yang memang membahas masalah-masalah itu. Termasuk, isu-isu hangat seputar peliputan tragedi peledakan bom di kawasan Mega Kuningan dan perburuan gembong teroris Noordin M. Top.

"Di tengah keprihatinan krisis keuangan global, campur tangan pemilik modal terhadap kiprah lembaga pers di masing-masing stasiun televisi, dan juga kecemasan akan masa depan stasiun televisi nasional setelah Undang-Undang Penyiaran diberlakukan, jurnalis televisi akan tetap memiliki tempat," tandas syaiful HALIM. "Namun, para calon-calon jurnalis televisi harus memiliki bekal yang memadai, tidak asal-asalan, berharap kebaikan para senior, atau keberutungan. Tapi, kesiapan mental dan ilmu."

Sesi tanya jawab pada bedah buku itu menjadi kesempatan para peserta untuk menggali lebih dalam mengenai berbagai permasalahan jurnalisme televisi. Tanya-jawab pun berlangsung dengan semarak dan penuh antusias. "Pada poinnya, apa keunggulan buku ini dibandingkan buku-buku sejenis?" tanya seorang peserta.

Sang Penulis pun merinci satu per satu nilai lebih buku yang ditulisnya selama tiga bulan itu. Yang pasti, jelas syaiful HALIM, buku tersebut membuat inspirasi yang sangat penting bagi para peminat dunia jurnalistik atau calon-calon jurnalis televisi. "Selain itu, buku ini memaparkan pengetahuan berharga jurnalisme televisi secara teori dan praktik. Khususnya, menyangkut teknik peliputan di berbagai bidang masalah," tambahnya.

Bahkan, kata syaiful HALIM, buku itu pun mengungkapkan pembekalan sebagai produser program harian atau program khusus. "Bahkan, ketika sang jurnalis televisi bersiap-siap membidik kesibukan lain. Yang pasti, jurnalis televisi akan selalu mendapat tempat dan menghamparkan kenikmatan petualangan nan tiada tara," tegasnya disambut tepuk tangan para peserta.[]

12 Desember 2009

bedah GADO-GADO SANG JURNALIS

Krisis keuangan global dan pembelakuan Undang-Undang Penyiaran menyengat industri televisi di Tanah Air. Bagaimana dengan masa depan lembaga pers di lingkungan stasiun televisi, akan menjadi suram atau sebaliknya?

Pertanyaan serius dan ironi itu muncul seiring dengan rumor tawaran pensiun dini (baca: PHK terselubung) dan gonjang-ganjing yang mewarnai perjalanan lembaga pers di stasiun televisi beberapa tahun ini. Beberapa jurnalis televisi (atau mantan) menuliskannya dalam blog atau menerbitkannya melalui jejaring sosial facebook. Artinya, diam-diam memang ancaman "madesu" memang tengah mengintai para jurnalis televisi.

Entah kesengajaan atau tidak, ternyata isu itu juga muncul dalam buku GADO-GADO sang jurnalis; rundown WARTAWAN ECEK-ECEK yang ditulis jurnalis SCTV, syaiful HALIM. Bahkan, lengkap dengan gambaran "politik ecek-ecek" yang terjadi di lembaga pers di sejumlah stasiun televisi, yang diduga untuk mengkebiri ketajaman dan kemapanan lembaga pers tersebut. Dan untuk mempertegas atmosfir keprihatinan dan kenyataan di dalamnya, sang Wartawan Ecek-Ecek akan berbicara langsung pada:

Rabu, 16 Desember 2006
Pukul 13.00-15.00 WIB
Bertempat di Auditorium Kampus Universitas Sahid Jakarta, Jalan Profesor Dr. Soepomo, Jakarta Selatan
Dengan topik "Menelisik Prospek Jurnalis Televisi di Tanah Air"

"Saya hanya bisa mengatakan, jutaan anak-anak bangsa dari berbagai kalangan masih menjadikan stasiun televisi sebagai salah satu impian. Ribuan mahasiswa dari fakultas-fakultas tertentu masih membidik dunia jurnalime televisi sebagai salah cita-cita," tegas sang Wartawan Ecek-Ecek, syaiful HALIM, dalam blognya.

Benarkan masa depan para jurnalis televisi akan suram pada masa-masa mendatang? Adakah buku GADO-GADO sang jurnalis: rundown WARTAWAN ECEK-ECEK membuktikan kekhawatiran itu?

Untuk mendapatkan jawaban paling akurat, ada baiknya menbaca buku itu terlebih dahulu dan mengikuti penuturan penulisannya pada workshop singkat ini.

JANGAN IKUTI ACARA INI, BILA ANDA INGIN DISEBUT ECEK-ECEK!

06 Desember 2009

menyoal GADO-GADO SANG JURNALIS

Sesaat setelah buku Gado-Gado Sang Jurnalis: Rundown Wartawan Ecek-Ecek memasuki rak toko buku, seorang sahabat menyodorkan dua kritik serius kepada saya. Yakni, soal pemilihan tokoh "saya" dan momen peluncurannya yang dianggap berbanding terbalik dengan kondisi sekarang.

"Kenapa juga harus sampean sendiri yang menjadi kendaraan cerita. Apa tidak khawatir buku itu bakal disebut otobiografi? Bahkan, sampean bisa dicap pemuja aliran narsis?!"

Astaghfirullah. Buru-buru saya membuka lembar demi lembar buku itu dan membacanya secara seksama. Seteliti, mungkin. Kali ini, saya harus memastikan kebenaran kesan itu. Dan jurus memilih posisi sebagai pembaca harus saya pilih. Karena, saya membutuhkan jawaban obyektif.

Kalau hal itu terbukti benar, maka sesungguhnya saya tengah dihadapkan pada dua persoalan besar. Pertama, saya telah melanggar komitmen spiritual untuk istiqomah berzuhud secara batin. Kedua, saya telah melanggar komitmen berkesenian untuk tidak melakukan -- maaf -- masturbasi!

"Setiap amal tergantung niatnya. Katanya guru saya, hahaha...," sahut saya mencoba menanggapi kritik serius itu seraya berpura-pura mengabaikan konflik batin di pikiran.

Namun, di balik kutipan yang sejatinya hadits Rasulallah SAW itu saya ingin bertutur bahwa alasan-alasan "pelanggaran" komitmen secara spiritual atau berkesenian itu. Ketika harus memilih kendaraan "saya", seperti juga telah dipaparkan dalam kata pengantar, hal itu lebih disebabkan untuk mendapatkan kemudahan. Karena memilih tokoh lain pastinya akan dihadapkan berbagai persoalan administrasi, royalti, waktu, dan sejuta alasan lain.

Selain itu, mendapatkan tokoh dari kalangan "bawah" -- dunia jurnalistik televisi -- dengan banyak cerita juga bukan perkara gampang. Karena, bisanya kalangan "bawah" sangat sedikit mendapatkan kesempatan untuk menabung pengalaman dan cerita.

Daripada niatan membagi pengatahuan dan pengalaman terhambat masalah karakter, maka diputuskanlah "saya". Untuk mengimbangi dominasi "saya", saya juga menyediakan ruang untuk teman-teman lain -- dari kalangan "bawah" -- yang selama ini tidak tersentuh tinta sejarah. Dan menorehkannya dalam bentuk cerita atau foto. Dengan porsi kecil itu saya berharap, pembaca juga mengenal "wartawan ecek-ecek" lain yang selama bertahun-tahun ini meramaikan jagat pertelevisian kita.

"Apa mereka memang layak masuk catatan sejarah itu?"

"Iya. Selama ini publik lebih mengenal kalangan 'atas' atau selebritas -- presenter atau anchor program berita -- yang sering tampil di layar kaca. Padahal di balik kecemerlangan mereka juga terdapat para praktisi lain yang angat bekerja keras. Buat saya, masyarakat juga perlu menjadikan orang-orang itu inspirasi. Orang kalangan 'bawah' pun berhak menjadi inspirasi," jelas saya meyakinkan.

Tentang kritik kedua?

Saya sangat tahu, arah kritik itu ditujukan kepada situasi gonjang-ganjing yang belakangan ini dialami sejumlah stasiun televisi nasional. Entah menyangkut keterlibatan pemilik modal atau jajaran pengelola stasiun televisi secara langsung dalam menata lembaga pers di dalamnya. Atau soal masa depan pertelevisian itu yang tengah diuji krisis keuangan global atau pelaksanaan Undang-Undang Penyiaran. Singkatnya, efisiensi yang berujung pada pemangkasan karyawan. Dan, tentu saja, masa depan lapangan pekerjaan di bidang penyiaran.

Kali ini, saya hanya bisa mengatakan, jutaan anak-anak bangsa dari berbagai kalangan masih menjadikan stasiun televisi sebagai salah satu impian. Ribuan mahasiswa dari fakultas-fakultas tertentu masih membidik dunia jurnalime televisi sebagai salah cita-cita. Dan mereka membutuhkan referensi. Baik menyangkut teori keilmuannya maupun praktik nyata di lapangan. Bahkan, peta "politik" di dalamnya.

Bahwa momen peluncuran buku dan kondisi usaha stasiun televisi yang berbanding terbalik bukanlah penghalang untuk terus berbicara tentang dunia jurnalisme. Khususnya, jurnalisme televisi. Sebagai pengetahuan atau ilmu, jurnalisme tidak akan pernah mati dan masih akan terus berkembang sejalan dengan perubahan-perubahan zaman. Karena itu, buku-buku yang berkaitan dengan masalah itu pun masih sangat dibutuhkan tanpa terusik situasi lapangan kerja.

Dan untuk ke dalam, wawasan tentang jurnalisme televisi itu juga membutuhkan otokritik. Ketika dunia tersebut menempati papan atas dan dalam kesombongan yang teramat sangat, para pengelolanya lupa dan lengah bahwa tren selalu berputar dan minat penonton juga ikut bergeser. Pada akhirnya, kebijakan pemilik modal dan pengelola stasiun telivisi pun harus berakrobat untuk mempertahankan laju usahanya.

"Bagian itulah yang saya pikir sangat ironi," kata teman saya lirih.

Ironi?

Buat saya dan teman-teman dari kalangan "bawah" yang termasuk dalam cerita buku, baik yang masih bertahan maupun resign, hal itu bukan sekadar ironi. Tapi, sangat ironi. Bahkan, sangat-sangat ironi![gado-gado SANG JURNALIS]