Dalam ranah jurnalistik televisi, wawancara reporter dan kamerawan terhadap narasumber di lapangan dilakukan untuk menggali fakta atau mengutip pernyataan suatu fakta. Saat menggali fakta, reporter mencatat atau merekam seluruh keterangan di atas buku catatan atau tape-recorder. Artinya, kamerawan tidak disertakan. Sedangkan dalam mengutip pernyataan, rekaman fakta direkam oleh kamerawan.
Selain reporter dan kamerawan, anchor atau presenter di studio juga kerap melakukan wawancara dengan narasumber secara langsung. Baik dengan menempatkan narasumber di studio maupun di tempat lain secara tele-conference. Tujuannya, selain menggali fakta juga untuk mendapatkan analisis soal fakta.
Menarik juga menyaksikan wawancara presenter dengan seorang narasumber di sebuah stasiun televisi swasta usai penggerebekan tersangka teroris -- Syaifudin Zuhri dan Muhammad Syahrir -- di kawasan Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten, 9 Oktober kemarin. Saat itu presenter bertanya tentang ciri-ciri tersangka.
Lantas sang narasumber yang tetangga kost para tersangka teroris itu menuturkanya secara rinci, "Tinggi, putih, rambutnya ikal, blablabla... Tapi, dia tidak memakai kapayeh atau sorban, tidak memelihara janggut, dan tidak memakai gamis, seperti biasanya para teroris!"
Ketika Densus 88 menggerebek rumah Susilo di kawasan Mojosongo, Solo, Jawa Tengah, pertengahan September lalu, presenter tersebut juga mewawancarai seorang tetangga tersangka teroris. Banyak pertanyaan yang diajukan sang presenter kepada narasumbernya. Intinya, ia ingin menggali fakta sedalam-dalamnya soal sosok Susilo, tersangka teroris dan juga warga kawasan itu.
Katanya, "Bagaimana kesehari-harian Susilo? Apakah dia selalu menggunakan gamis? Suka berceramah di masjid di kawasan Anda? Apa suka menjadi imam di masjid Anda? Apa dia juga suka mengajari mengaji? Dst...."
Dari dua kasus di atas, saya ingin memastikan bahwa bila pada kasus pertama narasumber sudah "memasang" proto-type tersangka teroris di benaknya -- saya tidak tahu kenapa dia memiliki pemahaman seperti itu. Sedangkan pada kasus kedua, presenter yang merancang pemahaman soal proto-type tersangka teroris untuk "diiyakan" oleh narasumber.
Saya yakin, wawasan sang presenter tentang tersangka teroris hanyalah pada simbol-simbol tersangka teroris yang selama ini muncul. Sehingga, dia tidak mempertimbangkan bahwa tersangka teroris bisa tampil dengan rupa atau simbol apa saja. Selain itu, saya juga yakin, sang presenter tidak mempertimbangkan ketersinggungan umat agama tertentu atas "design" pertanyaannya itu.
Dan, bisa jadi, pendapat narasumber pada kasus pertama merupakan rekaman atas "rancangan" pertanyaan atau opini yang dijejalkan oleh presenter atau stasiun televisi tentang sosok tersangka teroris. So, haruskan wawancara ecek-ecek semacam itulah yang harus terus berhamburan dari layar kaca di dalam rumah kita? []
Selain reporter dan kamerawan, anchor atau presenter di studio juga kerap melakukan wawancara dengan narasumber secara langsung. Baik dengan menempatkan narasumber di studio maupun di tempat lain secara tele-conference. Tujuannya, selain menggali fakta juga untuk mendapatkan analisis soal fakta.
Menarik juga menyaksikan wawancara presenter dengan seorang narasumber di sebuah stasiun televisi swasta usai penggerebekan tersangka teroris -- Syaifudin Zuhri dan Muhammad Syahrir -- di kawasan Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten, 9 Oktober kemarin. Saat itu presenter bertanya tentang ciri-ciri tersangka.
Lantas sang narasumber yang tetangga kost para tersangka teroris itu menuturkanya secara rinci, "Tinggi, putih, rambutnya ikal, blablabla... Tapi, dia tidak memakai kapayeh atau sorban, tidak memelihara janggut, dan tidak memakai gamis, seperti biasanya para teroris!"
Ketika Densus 88 menggerebek rumah Susilo di kawasan Mojosongo, Solo, Jawa Tengah, pertengahan September lalu, presenter tersebut juga mewawancarai seorang tetangga tersangka teroris. Banyak pertanyaan yang diajukan sang presenter kepada narasumbernya. Intinya, ia ingin menggali fakta sedalam-dalamnya soal sosok Susilo, tersangka teroris dan juga warga kawasan itu.
Katanya, "Bagaimana kesehari-harian Susilo? Apakah dia selalu menggunakan gamis? Suka berceramah di masjid di kawasan Anda? Apa suka menjadi imam di masjid Anda? Apa dia juga suka mengajari mengaji? Dst...."
Dari dua kasus di atas, saya ingin memastikan bahwa bila pada kasus pertama narasumber sudah "memasang" proto-type tersangka teroris di benaknya -- saya tidak tahu kenapa dia memiliki pemahaman seperti itu. Sedangkan pada kasus kedua, presenter yang merancang pemahaman soal proto-type tersangka teroris untuk "diiyakan" oleh narasumber.
Saya yakin, wawasan sang presenter tentang tersangka teroris hanyalah pada simbol-simbol tersangka teroris yang selama ini muncul. Sehingga, dia tidak mempertimbangkan bahwa tersangka teroris bisa tampil dengan rupa atau simbol apa saja. Selain itu, saya juga yakin, sang presenter tidak mempertimbangkan ketersinggungan umat agama tertentu atas "design" pertanyaannya itu.
Dan, bisa jadi, pendapat narasumber pada kasus pertama merupakan rekaman atas "rancangan" pertanyaan atau opini yang dijejalkan oleh presenter atau stasiun televisi tentang sosok tersangka teroris. So, haruskan wawancara ecek-ecek semacam itulah yang harus terus berhamburan dari layar kaca di dalam rumah kita? []
Tangerang, 10 Oktober 2009